September Hitam : Suara Petani dan Buruh yang Terpinggirkan

Opini

OPINI : Subri Rahmadani (Mahasiswa Sosiologi UBB)

PANGKALPINANG, Actadiurma.id – Indonesia sebagai negara kesatuan Rebuplik Indonesia merupakan negara kesatuan dan persatuan dalam keragaman suku, agama, serta budaya. Hal ini jelas tercermin dalam pancasila, khususnya pada sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia”, yang menekankan betapa pentingnya kesatuan dan integritas bangsa. Sebagai dasar negara, Pancasila juga mencerminkan nilai-nilai keadilan dan peradaban. Pada sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”, kita menekankan bahwa demokrasi yang seimbang memberikan hak bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam keputusan yang dibuat oleh negara.

September merupakan bentuk bulan yang bersejarah bagi perjuangan petani dan buruh, ingatan kolektif masyarakat ini selalu dipenuhi dengan kenangan kelam, mulai dari peristiwa politik berdarah hingga penindasan terhadap gerakan rakyat. Akan tetapi, “September Hitam” saat ini tidak hanya lambang dari tragedi di masa lalu, melainkan juga mencerminkan keadaan nyata yang dialami oleh mereka yang seharusnya menjadi inti dalam kehidupan berbangsa bagi para petani dan pekerja. Keduanya berfungsi sebagai pilar utama ekonomi, namun ironisnya, mereka terus terpinggirkan dari ruang kesejahteraan dan keadilan sosial.

Di Indonesia, lebih dari 29 juta orang bergantung pada sektor pertanian. Namun, data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa konflik agraria terus meningkat setiap tahun. Hanya pada tahun 2023 saja, terjadi ratusan kasus sengketa lahan, sebagian besar melibatkan petani yang berhadapan dengan perusahaan pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan proyek infrastruktur besar. Ironisnya, mereka yang disebut sebagai “pahlawan pangan” sering kali kehilangan lahan yang menjadi sumber penghidupan mereka. Perubahan fungsi lahan pertanian menjadi area industri atau pertambangan tidak hanya mencuri hak petani, tetapi juga mengancam ketahanan pangan nasional. Indonesia sering kali mengklaim sebagai negara agraris, tetapi kenyataannya kita masih bergantung pada pangan impor. Bagaimana mungkin tidak demikian, petani kecil semakin kesulitan bertahan di tengah persaingan harga yang dikendalikan oleh pasar global dan perusahaan besar. Akibatnya, mereka sering menjual hasil panen dengan harga yang minim, sedangkan konsumen membeli dengan harga yang tinggi. Rantai distribusi yang panjang dan tidak adil mengakibatkan keuntungan besar jatuh kepada tengkulak dan korporasi, bukan kepada petani yang bekerja keras di sawah.

Ini lebih dari sekedar masalah ekonomi ,atau bahkan isu politik. Tetapi, siapa yang menjadi korban dan siapa yang meraih untung. Negara seolah lebih mendukung kepentingan modal besar daripada menjamin perlindungan bagi petani. Dalam banyak situasi, aparat negara justru hadir untuk melindungi kepentingan korporasi, bukannya melindungi rakyat yang seharusnya menjadi prioritas. Nasib serupa juga dialami oleh pekerja. Di balik perkembangan industri dan megahnya bangunan perkotaan, terdapat jutaan buruh yang hidup dengan upah minimum yang sulit utnuk mencukupi kebutuhan hidup yang layak. Bagi mereka, konsep “bonus demografi” hanya menjadi jargon belaka, sebab kesejahteraan tetap tak kunjung dirasakan. Terlebih lagi dengan munculnya Omnibus Law Cipta Kerja, yang sejak awal banyak ditolak, semakin mempersempit area perlindungan untuk buruh. Regulasi ini memperingan syarat investasi dengan mengorbankan hak-hak pekerja. Fleksibilitas waktu kerja, kontrak yang tanpa batas, hingga pemutusan hubungan kerja yang lebih mudah dilakukan ini merupakan gambaran nyata tentang bagaimana negara tunduk pada kepentingan modal saja. Tidak heran jika setiap kali buruh menyuarakan protes di jalan, mereka segera diberi cap sebagai pengganggu ketertiban. Padahal, suara mereka adalah teriakan untuk mempertahankan hak-hak dasar.

Fenomena terpinggirkannya petani dan buruh menunjukkan satu hal penting bahwa demokrasi kita masih tidak sempurna. Demokrasi yang sejati bukan hanya tentang prosedur pemilihan umum atau perwakilan di parlemen, melainkan tentang keberanian negara untuk mendengarkan dan melindungi mereka yang rentan. Sayangnya, dalam kenyataan, negara sering kali hadir sebagai alat legitimasi bagi kepentingan segelintir elit politik dan ekonomi. Suara para petani yang menolak kehilangan lahan dianggap sebagai penghalang bagi kemajuan. Suara para pekerja yang menentang upah rendah dipandang sebagai risiko bagi iklim investasi. Padahal, pembangunan yang sejati seharusnya berorientasi pada kesejahteraan masyarakat luas, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan para investor asing dan pengusaha lokal.

“September Hitam” kali ini bukan hanya sekadar ingatan sejarah, tetapi juga kenyataan saat ini yang menunjukkan bentuk baru dari otoritarianisme. penindasan terhadap aspirasi rakyat dengan menyamarkan diri dalam demokrasi yang hanya bersifat prosedural. Kita melihat bagaimana keinginan masyarakat kecil diabaikan, sementara ruang publik dipenuhi dengan narasi besar tentang investasi, pembangunan infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kita perlu bertanya dengan serius: untuk siapa sebenarnya pembangunan ini dilakukan? Apakah untuk petani yang tanahnya diambil, atau untuk perusahaan yang terus mendapatkan konsesi yang lebih besar?

Jika pembangunan hanya berfungsi sebagai sarana untuk memperkaya segelintir individu, maka itu bukanlah pembangunan, melainkan pengambilan paksa. Petani dan pekerja yang seharusnya menjadi aktor utama dalam perekonomian justru diperlakukan sebagai objek eksploitasi. Mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga suara mereka. Tidak hanya itu “September Hitam” seharusnya menjadi momen untuk refleksi sekaligus peringatan. Kita tidak bisa terus membiarkan masa lalu yang kelam terulang dalam bentuk baru. Negara perlu menunjukkan keberpihakannya kepada mereka yang paling lemah petani dan pekerja. Ini berarti menghentikan tindakan kriminalisasi terhadap perjuangan agraria, menjamin harga yang adil untuk hasil panen, meningkatkan perlindungan sosial bagi pekerja, dan merevisi peraturan yang lebih menguntungkan modal dibandingkan manusia.

Kemandirian pangan hanya bisa tercapai jika petani diberikan tempat tinggal yang layak. Kesejahteraan pekerja hanya dapat diraih jika negara berani memprioritaskan manusia di atas keuntungan. Demokrasi akan menjadi berarti jika suara mereka yang berusaha paling keras tetapi hidup dalam kesulitan benar-benar didengar. Maka, selama suara petani yang kehilangan lahan masih terdengar, dan pekerja yang memperjuangkan upah yang layak masih dianggap sebagai pengacau, “September Hitam” belum benar-benar berakhir. Ia tetap ada, membayangi perjalanan bangsa ini, dan menuntut keberanian kita untuk memutus rantai ketidakadilan yang terus berlanjut.