OPINI : Atha said fajri – Kader HMI Cabang Babel Raya
“Mau korupsi, bayar polisi Mau gusur rumah, bayar polisi Mau babat hutan, bayar polisi Mau jadi polisi, bayar polisi“
“Aduh, aduh, ku tak punya uang Untuk bisa bayar polisi“
Lirik lagu Suktani – Bayar, Bayar, Bayar di atas menggambarkan realitas pahit yang dirasakan masyarakat terhadap institusi Polri hari ini. Alih-alih menjadi penjaga hukum yang adil dan profesional, Polri justru sering dikaitkan dengan praktik korupsi, suap, dan penyalahgunaan wewenang.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat guna menjaga stabilitas dalam negeri. Namun, di tengah dinamika sosial dan politik yang semakin kompleks, peran dan fungsi Polri justru dipertanyakan.
Data Amnesty International Indonesia mencatat bahwa dalam rentang 2019 hingga 2023, terdapat sedikitnya 58 kasus penangkapan sewenang-wenang oleh polisi terhadap 412 pembela hak asasi manusia (HAM). Aktivis mahasiswa, masyarakat adat, jurnalis, buruh, hingga petani dan nelayan juga menjadi korban kriminalisasi oleh Polri. Bahkan, aparat kepolisian mendominasi kasus penyiksaan terhadap warga sipil dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan betapa lemahnya akuntabilitas dalam institusi ini.
Kapolri mengungkapkan bahwa anggaran Polri untuk tahun 2025 mencapai Rp 126,6 triliun, menjadikannya anggaran terbesar kedua setelah Kementerian Pertahanan. Angka ini meningkat dari tahun 2024 yang hanya Rp 123,6 triliun. Namun, pertanyaannya adalah: apakah anggaran besar ini benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas kepolisian?
Meskipun anggaran terus meningkat, efektivitas penggunaannya masih dipertanyakan. Kasus penyiksaan, kriminalisasi terhadap aktivis, dan ketidakadilan dalam penegakan hukum pun masih marak terjadi. Bahkan, sebagian anggaran justru dialokasikan untuk program pencitraan seperti bantuan sosial (Bansos Presisi), yang lebih terkesan sebagai strategi meredam kritik daripada upaya nyata meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Jika pengelolaan anggaran tidak diperbaiki, kenaikan dana ini hanya akan memperkuat impunitas dan memperparah krisis kepercayaan publik terhadap Polri.
Kemunculan bantuan sosial (Bansos Presisi) yang dibagikan oleh Kepolisian Kepulauan Bangka Belitung hari ini di tengah maraknya aksi demonstrasi semakin menegaskan bahwa program ini bukan sekadar bantuan kemanusiaan, melainkan alat pencitraan yang digunakan untuk mengalihkan perhatian publik. Tindakan ini menunjukkan bagaimana kepolisian lebih memilih menggunakan anggaran negara untuk proyek populis ketimbang memperbaiki kinerja mereka dalam melindungi hak-hak warga negara.
Lebih jauh, langkah Kepolisian Kepulauan Bangka Belitung ini memperlihatkan hal yang terus berulang: ketika kritik terhadap institusi semakin deras, strategi yang digunakan bukanlah reformasi internal atau penegakan hukum yang lebih baik, melainkan gimmick berupa bantuan sosial. Jika Polri, khususnya di Bangka Belitung, ingin benar-benar membuktikan keberpihakannya pada rakyat, mereka seharusnya fokus membersihkan institusinya dari oknum yang kerap menyalahgunakan kekuasaan, bukan sekadar membagikan bantuan di tengah ketidakadilan yang terus terjadi.
