Hormati Perjuangan Kaum Republik, Delegasi Tionghoa pada Konferensi Pangkalpinang Memilih Pasif

Uncategorized
Bekas Sekolah Tionghoa di Mentok, sumber foto koleksi Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

PENULIS : Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia.PANGKALPINANG, Actadiurma.id – Konferensi Pangkalpinang, Tanggal 1-15 Oktober 1946, kurang disambut dengan baik oleh masyarakat Bangka dan disertai dengan ketidakjelasan sikap orang-orang Tionghoa yang tinggal di pulau Bangka. Ketidakjelasan sikap orang-orang Tionghoa dikarenakan keseganan mereka terhadap perjuangan kaum republik (kaum Republiken), yang sedang gigih mempertahankan kemerdekaan dan pemerintahan RI yang sah dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno.Konferensi yang dihadiri Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Sjahrir yang sedang berstatus tawanan pemerintah kolonial Belandan dan Pimpinan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda yang diwakili Hubertus Johannes “Huib” van Mook ini merupakan kelanjutan dari Konferensi Malino dengan tujuan mendengarkan pendapat kaum minoritas tentang rencana pembentukan negara federasi yang kemudian dikenal sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS).Dari sisi politis delegasi Tionghoa di pulau Bangka tidak memberikan usulan yang berarti, mereka hanya mengusulkan tentang bantuan dan subsidi pendidikan terhadap sekolah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) yang didirikan Kuo Min Tang (KMT) (Pinyin: Zhongguo Guomindang). Di dalam catatan sejarah diketahui aktifitas kaum Nasionalis Cina si Pulau Bangka semakin meningkat sekitar Tahun 1920 dengan berdirinya Pusat Pendidikan Orang Dewasa (Soe Po Sia) dan berdirinya beberapa sekolah Tionghoa atau THHK. Perkembangan THHK di Pulau Bangka dimulai dengan berdirinya THHK di Mentok oleh Letnan Lim A Pat di Mentok Tahun 1906, Dilanjutkan di Pangkalpinang pada Tanggal 27 Mei 1907 diketuai oleh Kapitan Lay Nam Sen, setahun kemudian pada Tanggal 18 Juni 1908 dilakukan peresmian sekolah Tionghoa di Belinju diketuai oleh Kapitan Tjen Ton Long. Pada Tanggal 7 September 1910 dibuka lagi sekolah Tionghoa di Sungailiat diketuai oleh Bong Kap Njan, dan terakhir pada Tanggal 27 November 1912 dibuka sekolah Tionghoa di Toboali diketuai oleh Bong Kit Siong. Pada Tahun 1917 Pemerintah Hindia Belanda membuka Hollandsch-Chineesche School (HCS) di Pangkalpinang, Sungailiat dan Belinyu sebagai bagian dari Politik Etis.Selanjutnya pada tanggal 17 September 1901, Ratu Belanda Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan di sidang Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi atau een eerschuld terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda). Berdasarkan catatan Residen Bangka, J.E. Eddie (memerintah di Pangkalpinang dari tanggal 17 Mei 1925 hingga 3 Mei 1928 Masehi), dalam Memorie van Overgave, Pangkalpinang, 1928, disebutkan bahwa pada bulan Maret 1928 sudah terdapat sekitar 10 sekolah pemerintah kelas dua dan 104 volkscolen (sekolah dasar) untuk masyarakat pribumi di Pulau Bangka. Pada Tahun 1928 HCS di Pangkalpinang, Sungailiat dan Mentok memilki murid kurang dari 700 orang (Heidhues; 2008:177). Khusus untuk perkembangan sekolah di wilayah Soengailiat pada Tahun 1930, berdasarkan Memorie Van Overgave, Residen Hooyer, 1931, terdapat 11 sekolah dengan 49 guru dan sekolah terbesar di Sungailiat memiliki murid sebanyak 500 orang. Berdasarkan catatan Majalah Berkat Edisi Khusus II, September 1974 halaman 15, dinyatakan, bahwa Paroki Sungailiat Pada Tahun 1935 bersama sama dengan bruder-bruder Kongregasi Santa Maria dari Louders mulai membuka sekolah di Sinkai Tengah Sungailiat. Sekolah yang dipelopori oleh Bruder Antonius, saat ini berkembang menjadi Sekolah Maria Goretti Sungailiat.