Hancurkan Dogma Hidupkan Dialektika

Opini

OPINI: Azam Al-Anshori / HIMA Jurnalistik Islam, IAIN Sekh Aabdurrahman Sidik Bangka Belitung

PANGKALPINANG, Actadiurma.id – Dialektika kerap dipahami secara keliru. Banyak orang mengira ia hanyalah perdebatan yang tidak berujung, ajang untuk mencari menang atau kalah, atau bahkan dianggap sebagai tindakan tidak sopan.

Padahal, dialektika jauh lebih dari itu. Ia merupakan metode berpikir yang menempatkan kontradiksi sebagai jalan menuju pemahaman yang lebih utuh.

Melalui dialektika, setiap gagasan (tesis) diuji oleh lawannya (antitesis), lalu dari pertentangan itulah lahir sintesis yang lebih tinggi. Bukan untuk membungkam, melainkan untuk membuka ruang. Bukan untuk menang, melainkan untuk melahirkan pandangan baru yang lebih relevan dengan kenyataan.

Di Indonesia, sayangnya, fungsi dialektika masih kerap disalahpahami. Tan Malaka, dalam Madilog, sudah menyinggung soal ini. Ia menyoroti berbagai “krisis logika” yang dihadapi masyarakat kita, mulai dari kecenderungan mistik hingga lemahnya tradisi berpikir ilmiah.

Tan Malaka sadar bahwa masyarakat Indonesia sulit diajak berbicara kritis tentang hal-hal yang dianggap sensitif, terutama yang menyangkut budaya dan agama. Kritik sering dipersepsikan sebagai penistaan, dan percakapan kritis dipandang sebagai ancaman, bukan peluang untuk berkembang.

Kondisi ini tidak terlepas dari sejarah panjang kolonialisme dan otoritarianisme. Selama berabad-abad, bangsa ini dididik untuk patuh, bukan untuk bertanya. Hasilnya, kebiasaan berdialog dan berpikir kritis kerap dianggap tabu. Padahal, tanpa dialektika, kita akan terus terjebak dalam pola pikir dogmatis dan sulit melahirkan solusi kreatif bagi masalah-masalah bangsa.

Menghidupkan kembali dialektika berarti membiasakan masyarakat terutama generasi muda untuk berani mempertanyakan, menimbang, dan menyintesis.

Proses ini bisa dimulai dari ruang pendidikan, dengan memberi porsi lebih besar bagi filsafat, logika, dan diskusi terbuka. Bisa juga lewat budaya literasi publik: forum warga, diskusi komunitas, hingga media sosial yang digunakan bukan sekadar untuk bertengkar, tetapi untuk saling memperkaya sudut pandang.

Dialektika juga sejalan dengan semangat demokrasi. Demokrasi sehat hanya mungkin terwujud jika masyarakat terbiasa berdialog, bukan memaksakan pendapat. Dialektika menjadi penopang agar kebebasan berekspresi tidak berubah menjadi kekacauan, dan perbedaan pandangan tidak berubah menjadi permusuhan.

Akhirnya, kita harus menyadari bahwa kebenaran tidak pernah mutlak final, dan kesalahan tidak pernah sepenuhnya salah. Kebenaran selalu lahir dari proses yang bergerak, dari benturan gagasan yang jujur, dan dari keberanian untuk mendengarkan lawan.

Tanpa dialektika, bangsa ini hanya akan terjebak dalam repetisi lama; dengan dialektika, kita punya peluang untuk tumbuh lebih matang, adil, dan relevan dengan zaman.