Transformasi Kepolisian Indonesia: Antara Presisi dan Ancaman Otoritarianisme di Jalan Menuju Era Emas

Lokal

OPINI: Subri Rahmadani, Mahasiswa Sosiologi UBB

PANGKALPINANG, Actadiurma.id – Di tengah semangat “Presisi” yang kini dijunjung tinggi sebagai tagline baru kepolisian, muncul pertanyaan yang mendasar: apakah Indonesia benar-benar menuju arah ‘Indonesia Emas’ yang diidamkan? Bukan hanya sekedar tulisan, namun apakah perubahan substansial juga tengah berlangsung di balik slogan tersebut?

Kritik terhadap kepolisian tidak hanya tentang penambahan kewenangan, tetapi juga mengenai sikap terhadap masukan dari masyarakat dan keterbukaan terhadap suara-suara yang berbeda. Dalam konteks undang-undang, di mana peran polisi adalah sebagai penjaga keamanan dan penerap hukum, bagaimana kita menafsirkan insiden seperti bom di Papua yang mempertanyakan integritas ‘penegakan hukum’? Apakah kebijakan ‘Presisi’ benar-benar dijalankan dengan mematuhi prinsip-prinsip hukum yang seharusnya mereka lindungi?

Perlu diakui bahwa dalam beberapa kasus, kepolisian terlihat lebih cenderung untuk memperluas wewenang mereka daripada untuk secara kritis mengevaluasi kebijakan atau menerima kritik yang membangun dari masyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kemandirian dan akuntabilitas kepolisian dalam menghadapi tantangan-tantangan modern. Sebagai masyarakat yang semakin sadar akan hak-hak sipil dan keadilan, kita harus mempertanyakan apakah polisi, sebagai penjaga keamanan dan penegak hukum, benar-benar melindungi kepentingan publik secara adil dan proporsional. Bukankah salah satu tanda keemasan suatu bangsa adalah kemampuannya untuk memastikan bahwa setiap warga negara merasa dihormati dan dilindungi oleh hukum yang berlaku?

Perlindungan Anak dan Hak Asasi Manusia dalam Kasus Kekerasan Polisi
Kasus dugaan kekerasan polisi terhadap 18 remaja di Padang, Sumatera Barat, merupakan contoh yang mengejutkan dari pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, khususnya terhadap anak-anak. Kejadian ini dimulai dengan patroli yang dilakukan oleh petugas Polsek Kuranji pada 9 Juni 2024, yang berujung pada penangkapan sekelompok remaja yang diduga terlibat dalam tawuran. Perhatian terhadap kasus ini semakin meningkat setelah ditemukannya Afif Maulana, seorang remaja berusia 13 tahun, tewas dengan luka memar di bawah Jembatan Batang Kuranji. Afif diduga menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh polisi saat patroli tersebut, menimbulkan kecurigaan terhadap perlakuan yang tidak pantas terhadap warga masyarakat yang seharusnya dilindungi.

Tindakan hukum yang tegas dan transparan sangatlah relevan dalam kasus ini. Penegakan hukum yang berintegritas adalah fondasi dari kepercayaan publik terhadap keadilan. Penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum, terutama terhadap anak-anak, bukan hanya merupakan pelanggaran hukum tetapi juga menunjukkan kegagalan dalam menjaga nilai-nilai dasar kemanusiaan. Anak-anak, sebagai bagian yang paling rentan dari masyarakat, harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan penyiksaan.

Krisis Integritas di Kalangan Aparat Kepolisian Kepulauan Bangka Belitung
Di tahun 2023, Daerah Kepulauan Bangka Belitung (Babel) menyaksikan serangkaian kejadian yang mencerminkan krisis integritas di kalangan aparat kepolisian. Pada tahun tersebut, tercatat banyak kasus Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap anggota polisi di Babel, yang sebagian besar disebabkan oleh berbagai pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri (KEPP). Salah satu pelanggaran paling mencolok adalah penyalahgunaan narkoba yang mencatat 22 kasus, diikuti oleh kasus-kasus seperti asusila (10 kasus), pungutan liar (9 kasus), desersi (8 kasus), dan penyalahgunaan wewenang (4 kasus), serta pelanggaran lainnya.

Penyimpangan-penyimpangan ini tidak hanya mencerminkan masalah internal di kepolisian, tetapi juga berdampak pada keresahan masyarakat. Sebagai contoh, kasus mega korupsi dalam industri tambang timah di Bangka Belitung menjadi sorotan karena melibatkan 22 tersangka dari berbagai pihak, termasuk kementerian dan perusahaan BUMN, namun tidak ada satupun anggota kepolisian yang terseret dalam kasus tersebut. Ironisnya, masifnya tambang ilegal di daerah ini telah terjadi karena ketidaktegasan dalam penegakan hukum oleh pihak kepolisian.

RUU Polri: Antara Modernisasi dan Ancaman Otoritarianisme
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) adalah tulang punggung dalam menjaga keamanan dan ketertiban di Indonesia. Namun, reputasi Polri sering dipertanyakan karena berbagai masalah seperti penggunaan kekerasan yang berlebihan, korupsi, dan rendahnya pengawasan baik dari dalam maupun luar institusi. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2023 menunjukkan bahwa hanya 64% masyarakat memiliki kepercayaan pada Polri, mencerminkan tantangan besar dalam membangun kepercayaan publik.

RUU Polri yang sedang direvisi oleh DPR RI menjadi perhatian utama. Meskipun tujuannya untuk meningkatkan efektivitas Polri, RUU ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait potensi otoritarianisme. Banyak yang khawatir bahwa RUU ini akan memberi lebih banyak kekuasaan kepada Polri tanpa pengawasan yang memadai, yang dapat memperburuk masalah impunitas di kalangan anggota Polri. Selain itu, rencana untuk memperpanjang usia pensiun anggota Polri menjadi 60 tahun juga menuai kritik. Meskipun dapat mempertahankan tenaga ahli, ada kekhawatiran bahwa hal ini dapat mengurangi dinamika organisasi dan mempengaruhi kinerja lapangan Polri.

Penyiksaan dan Perlakuan Kejam
Dalam memperingati Hari Dukungan Korban Penyiksaan Internasional tahun 2024, KontraS telah merilis laporan tahunan yang membahas praktik penyiksaan dan perlakuan kejam di Indonesia. Laporan ini mencatat temuan dari Juni 2023 hingga Mei 2024. Tujuan utama laporan ini adalah untuk mengedukasi masyarakat dan pemangku kepentingan tentang realitas praktik penyiksaan yang masih berlangsung di Indonesia serta untuk mendorong upaya penghapusan yang lebih serius.

Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan, penerapan undang-undang untuk melindungi warga dari praktik penyiksaan masih jauh dari ideal. Kasus-kasus penyiksaan yang terus terjadi sepanjang tahun 2023-2024 menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah untuk menangani masalah ini dengan serius. Dalam periode yang dilaporkan, terdapat setidaknya 60 insiden penyiksaan atau perlakuan kejam di Indonesia yang melibatkan aparat kepolisian, angkatan bersenjata, dan petugas penjara. Angka ini mencerminkan tantangan nyata dalam menjaga supremasi hukum dan melindungi hak asasi manusia di Indonesia. Laporan ini juga mencatat normalisasi praktik penyiksaan di beberapa wilayah, termasuk Papua dan Aceh, serta kesulitan yang dihadapi korban dalam mencari keadilan dan pemulihan.

Dalam upaya mencapai visi ‘Indonesia Emas’, penting bagi kita untuk menjadikan slogan ‘Presisi’ sebagai komitmen nyata untuk memperbaiki kekurangan, mendengarkan suara-suara kritis, dan meningkatkan transparansi dalam pelayanan kepolisian. Hanya dengan demikian kita dapat membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan yang lebih adil dan terjamin bagi setiap warga negara. Kritik-kritik terhadap kebijakan dan praktik kepolisian harus dijadikan momentum untuk perubahan yang lebih baik. Sudah saatnya kepolisian tidak hanya melindungi, tetapi juga menjaga hak-hak masyarakat dengan penuh rasa tanggung jawab. Ini adalah tanggung jawab bersama kita sebagai masyarakat untuk mengawal proses perubahan menuju sistem hukum yang lebih baik. Dengan memperkuat akuntabilitas dan transparansi, kita dapat membangun fondasi yang lebih solid untuk keadilan dan kemajuan. Mari kita terus berjuang bersama untuk mencapai Indonesia yang lebih baik, di mana keadilan, keamanan, dan kemakmuran bagi semua adalah hal yang nyata dan dapat dirasakan oleh setiap warga negara.