Menilik Faktor Sosial dan Budaya dalam Kemunculan Baby Blues

Opini

OPINI: Fatimatuzzahra Asysyifa
Mahasiswi Psikologi Islam
IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung

PANGKALPINANG, Actadiurma.id -Saat ini telah kita dengar suatu berita yang memberikan stigma buruk di dunia kepolisian. Stigma ini muncul karena suatu tragedi yang dilakukan oleh seorang polisi wanita sekaligus seorang ibu yang berlaku buruk kepada suaminya. Kasus tersebut terjadi di Mojokerto, Jawa Timur, pada hari Sabtu, 8 Juni 2024. Ia melakukan aksinya dengan membakar sang suami yang juga merupakan anggota kepolisian. Motif ini terjadi karena sang suami suka sekali menghabiskan uangnya dengan berjudi online. Namun, setelah pelaku menjalani masa penyelidikan, pihak kepolisian menyimpulakn dugaan terkuatnya adalah sang istri melakukan aksi nekatnya dikarenakan terdampak efek dari baby blues. Pada saat itu, ia baru saja melahirkan anak kembar yang berumur 4 bulan dan juga memiliki anak pertama yang sudah berumur 2 tahun.
Baby blues adalah kondisi emosional yang umum dialami oleh banyak ibu baru setelah melahirkan. Hal ini ditandai dengan perasaan sedih, cemas, mudah tersinggung, dan tidak berdaya yang sering kali muncul dalam beberapa hari atau pada minggu pertama setelah melahirkan. Baby blues terjadi karena perubahan drastis hormon dan kondisi fisik yang dialami selama dan setelah kehamilan. Faktor psikologis tentunya mempengaruhi kemunculan baby blues, seperti stres akibat penyesuaian diri dengan peran baru sebagai ibu, kelelahan fisik dan mental, serta rasa khawatir tentang kemampuan merawat bayi. Kondisi sosial-ekonomi keluarga, serta dukungan dari pasangan dan keluarga besar juga dapat menjadi penyebab terjadinya baby blues pada seorang ibu yang baru melahirkan.
Melirik kepada dampaknya, hal ini tidak hanya terjadi pada kondisi individual ibu, tetapi juga pada lingkungan sosialnya. Ibu yang mengalami baby blues seringkali merasa terisolasi dan menarik diri dari lingkungan karena takut dianggap tidak mampu menjalankan peran sebagai ibu. Selain itu, stigma negatif terhadap kesehatan mental dapat memperburuk kondisi dan mencegah mereka mencari bantuan. Kondisi ini dapat menimbulkan dampak jangka panjang, seperti depresi pascapersalinan dan gangguan ikatan batin antara ibu dan bayi.
Dalam perspektif sosiologi, baby blues tidak hanya dilihat sebagai kondisi individual, tetapi juga sebagai fenomena sosial yang dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. Seorang ibu yang baru melahirkan tidak hidup dalam ruang hampa, melainkan berada dalam konteks sosial yang membentuk harapan, peran, dan tekanan yang dirasakan. Konstruksi sosial tentang keibuan, standar kecantikan, dan stigma terhadap kesehatan mental ibu dapat menjadi penyebab dan pemicu munculnya baby blues.
Menjadi ibu yang baru melahirkan membawa berbagai harapan dan tuntutan sosial yang dapat menjadi sumber stres dan kecemasan. Ibu diharapkan untuk cepat menyesuaikan diri dengan peran barunya, merawat bayi dengan sempurna, dan tetap terlihat cantik serta bahagia. Di sisi lain, ibu seringkali merasa kesepian, kelelahan, dan kehilangan kontrol atas hidupnya. Kurangnya dukungan sosial, seperti dari pasangan, keluarga, dan komunitas, dapat memperburuk kondisi tersebut. Masyarakat memiliki konstruksi sosial yang kuat tentang bagaimana seorang ibu seharusnya merasa dan bertindak. Ibu yang ideal digambarkan sebagai sosok yang selalu bahagia, tenang, dan mampu menyeimbangkan semua tanggung jawab dengan mudah. Namun, realitanya, tidak semua ibu dapat memenuhi standar ini. Tekanan untuk tampil sempurna dan bahagia dapat menimbulkan rasa bersalah dan kegagalan pada ibu-ibu yang mengalami baby blues. Konstruksi sosial ini perlu diubah agar ibu baru dapat merasa nyaman mengekspresikan emosi mereka dan mendapatkan dukungan yang dibutuhkan.
Berbagai institusi, baik di bidang kesehatan maupun komunitas, dapat berperan penting dalam mengatasi baby blues. Layanan kesehatan, seperti konseling bagi ibu, pemeriksaan rutin, dan program edukasi, dapat membantu mengidentifikasi dan menangani kondisi ini lebih dini. Selain itu, komunitas ibu, baik daring maupun luring, dapat menjadi sumber dukungan dan berbagi pengalaman yang sangat berharga. Melalui interaksi dan pertukaran informasi dalam komunitas, ibu dapat merasa kurang terisolasi dan mendapatkan strategi untuk mengatasi baby blues. Peran institusi ini diharapkan dapat membantu menjembatani kesenjangan antara harapan sosial dan realitas yang dihadapi para calon ibu dan ibu yang baru melahirkan nantinya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman dan dukungan sosial yang lebih baik untuk mencegah dan mengatasi efek dari baby blues.