Carut Marut Tata Kelola dan Tata Niaga Timah, Masyarakat Sengsara, Mafia dan Elit Tertawa

Opini

OPINI : Ridho azhari / Koordinator Daerah BEM Babel

PANGKALPINANG, Actadiurma.id – Bangka Belitung merupakan provinsi kepulauan yang memiliki banyak pulau-pulau kecil dan akan kekayaan alamnya yang melimpah, baik itu di sektor darat maupun perairan, laut di Kepulauan Bangka Belitung tercatat memiliki luas sekitar 6,5 juta hektar, sementara daratannya hanya 1,6 juta hektar.

Baru-baru ini kita dihebohkan dengan munculnya kasus TINDAK pidana korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 yang masih menuai polemik untuk supaya segera diselesaikan. Salah satu poin yang disoroti adalah kerugian ekologi atau lingkungan sebesar Rp271 triliun. Nilai kerugian lingkungan berdasarkan perhitungan ahli forensik lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo menyebutkan ini merupakan masuk sebagai kerugian negara. Perdebatan yang mencuat adalah kerugian lingkungan tidak serta merta dipahami sebagai kerugian negara.

Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah memuat dengan rinci mengenai aktivitas pertambang baik kondisi pra-tambang sampai dengan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan, pasca dilangsungkan proses pertambangan. Dengan kondisi yang terjadi hari ini siapa yang harus disalahkan? Dan siapa yang harus bertanggungjawab?Apakah investor, pemerintah dan perangkat-perangkat stackholdernya, atau aparat penegak hukum yang telah mendiamkan dan membiarkan terjadinya praktik tambang ilegal sehingga korupsi terhadap kasus pertambangan tidak bisa dihindari, hal tersebut diyakini akibat dari lemahnya proses penegakan hukum yang baik, perihal perizinan dan juga proses pengawasan berkenaan dengan IUP legal maupun ilegal.

Dengan telah terkuaknya kasus Mega Korupsi timah hari ini, yang sepatutnya menjadi sorotan utama ialah lemahnya penegakan hukum dalam menindak aktifitas tambang ilegal serta ketidakmampuan PT timah sebagai badan usaha milik negara dalam melakukan pembinaan terhadap mitra-mitra dalam menjalankan giat good mining practice, sehingga dalam hal ini membuat sebagian dari masyarakat mempersoalkan bahwa kesejahteraan hanya bisa di rasakan oleh segelintir orang yaitu cukong-cukong tambang timah, yang telah menjadikan masyarakat biasa hanya sebatas budak semata.

Kemudian persoalan kerugian ekologi yang menuai jadi sorotan media lokal daerah, nasional bahkan mancanegara angka 271 triliun menjadi angka terbesar dalam sejarah korupsi di Indonesia, siapa kemudian yang bertanggung atas kerugian tersebut, tentu hari ini masih menjadi pertanyaan kita bersama, mengingat dalam hal proses penyelidikan yang sedang dilakukan oleh Kejagung hari ini, itu hanya aktor tersangka dari pengusaha, seakan muncul di benak, apakah hanya dari kalangan pengusaha yang hanya terlibat dalam kasus tata niaga timah, tentu kasus koruptif yang terjadi hari ini tidak mungkin terjadi dikarenakan permainan oleh kalangan pengusaha saja tentu adanya proses pengamanan dan pengkondisian oleh pihak-pihak tertentu yang punya posisi strategis di legislatif, eksekutif dan juga aparat penegak hukum, kita berharap Kejagung mampu mengusut tuntas aktor-aktor yang ada di dalam maupun elemen-elemen yang terlibat.

Belum lagi didapati Informasi terbaru bahwa pemerintah melalui kementerian ESDM telah menerbitkan izin usaha pertambangan rakyat ( IPR) di Bangka Belitung, melalui kebijakan tersebut Kementerian ESDM menetapkan WPR sebanyak 123 blok dengan luas 8.606 Ha di Bangka Belitung, dan juga informasi terakhir bahwa RKAB yang diterbitkan oleh kementerian ESDM hanya diterbitkan untuk 15 perusahaan saja, sehingga hal itu dipandang akan memberikan ruang-ruang strategis bagi cukong tambang timah semakin merajalela untuk beroperasi tambang ilegal, mengingat bukan tidak mungkin para pengusaha melalui perusahaannya berdalih biji timah yang nantinya mereka dapatkan dihasilkan dari pertambangan rakyat, padahal dilapangan praktiknya dilakukan dengan cara yang melanggar ketentuan dan Perundangan-undangan yang berlaku, maka dengan demikian seharusnya pemerintah dan stackholder terkait mampu mengevaluasi bentuk kebijakan dalam hal tata kelola pertambangan, penegakkan regulasi seutuhnya yang harus dijalankan oleh APH serta berani mengambil sikap dalam memberikan sanksi-sanksi yang tegas kepada siapapun yang terlibat didalam aktivitas tambang ilegal.