JAKARTA, ACTADIURMA – Lowongan pekerjaan dengan batas usia maksimal masih kerap ditemui. Meski punya cukup pengalaman, ageism atau diskriminasi usia ketika melamar kerja sering jadi penghalang. Siang itu, Mugiono berdiri di tengah kerumunan pelamar kerja di sebuah bursa kerja di GOR Tanjung Duren, Jakarta Barat. Ia datang bersama dengan anak dan istrinya. Tujuan awalnya untuk menemani sang anak yang baru lulus kuliah mencari pekerjaan. Di saat yang sama, pria 48 tahun itu juga berharap kembali mendapatkan pekerjaan.
“Di usia saya, harusnya waktu untuk santai-santai, bukan untuk mencari pekerjaan. Kalau kerja harusnya sudah (karyawan) tetap, tapi karena perusahaan ada lay-off, kita harus terima,” ujarnya.
Mugiono tak pernah membayangkan, setelah bertahun-tahun bekerja di industri minyak dan gas, ia harus kembali mencari-cari kerja. Puluhan lamaran sudah ia kirim ke berbagai perusahaan. Namun, tak satu pun berbuah panggilan. Mugiono sadar, usianya berpotensi menjadi tembok pembatas.
Cerita senada datang dari Luluk. Dua tahun lalu, Luluk memutuskan mundur dari pekerjaannya untuk fokus mengurus anak. Namun, ketika dia sudah merasa siap kembali ke dunia kerja, ternyata jalannya tak semudah dulu.
“Sekarang itu banyak lowongan ada batas usianya. Biasanya batas maksimal rata-rata 25 sampai 30 tahun. Sedangkan usia saya sudah lebih dari 30 tahun. Itu benar-benar membuat batasan untuk saya,” ujar Luluk.
Dengan pengalaman bekerja sebagai wartawan, Luluk merasa masih punya semangat dan kemampuan. Namun, usianya juga seolah menjadi pembatas. Dalam setahun belakangan mencari pekerjaan, perempuan berusia 32 tahun ini sering kali menemukan lowongan yang tampak cocok, tapi harus berhenti terlalu berharap saat membaca ada syarat “usia maksimal 30 tahun”.
Luluk memang tetap mengirim lamaran, meski hingga kini belum ada panggilan.