Pengkhianatan Politik, Kehancuran Untuk Rakyat

Opini

Oleh: Zamzani, Aktifis Pemuda Bangka Belitung
 
PANGKALPINANG, Actadiurma.id – Di tengah dinamika politik yang sarat kepentingan, hadir sosok yang pernah dipercaya sebagai bagian dari perjuangan bersama. Ia tumbuh dalam lingkaran solidaritas, diangkat oleh kepercayaan, dan disokong oleh janji-janji perjuangan kolektif. Namun, di persimpangan kekuasaan, ia memilih jalan berbeda. Bukan karena visi yang lebih baik, melainkan karena godaan kursi, kuasa, dan keuntungan pribadi. Ia tak hanya berpaling, tetapi juga mencabut akar-akar kepercayaan yang selama ini menyatukan.

Siapa dia yang dulu berdiri di samping kita, mengaku pejuang, berbicara tentang perubahan, dan bersumpah setia pada rakyat? Tapi kini, begitu pintu kekuasaan terbuka, ia berubah. Ia jual idealisme demi jabatan, ia tukar kesetiaan dengan kekuasaan murahan. Inilah wajah pengkhianatan dalam politik: licik, tersenyum di depan, menusuk di belakang. Rakyat bukan lagi tuannya, tapi hanya alat untuk mencapai ambisi. Apakah ini politik, atau sekadar pertunjukan pengkhianatan yang dipoles dengan kata-kata manis?

Dulu kita duduk bersama, menyusun mimpi dan merancang langkah. Di atas meja yang sama, kita ikrarkan kata: “maju bersama, atau tidak sama sekali.” Kata-kata itu bukan hanya janji, tapi sumpah moral dan kesetiaan perjuangan. Tapi ketika kesempatan terbuka, ketika angin kekuasaan mulai berhembus, engkau memilih jalan sendiri—bukan karena rakyat, tapi karena ambisi pribadi.

Bukan sekadar berpaling, kau berjalan sambil membawa pisau, dan menusukkannya di punggung orang yang pernah percaya padamu. Inilah pengkhianatan paling keji dalam politik: mengkhianati bukan lawan, tapi kawan seperjuangan. Kau pernah bicara tentang kebersamaan, tapi ternyata hanya topeng. Kau teriak soal perubahan, tapi ternyata hanya ingin kekuasaan. Hari ini, sejarah akan mencatat, bahwa bukan musuh yang menjatuhkan, tapi saudara yang menikam.

Dan rakyat tahu, siapa yang berdiri dengan integritas, dan siapa yang menjual harga diri demi jabatan sesaat. Dengan takeline untuk Bangka Lebih Baik, maka insan seperti ini sangat tidak cocok untuk mempin menjadi kepala daerah, karena orang seperti ini akan mengkhianati rakyat untuk kepentingan pribadi saja, maka mari kira cerdas memilih, pilih yang bisa membangun kesejahteraan Bersama bukan hanya kerakusan untuk pribadinya saja.

Dahulu, engkau datang dengan wajah perjuangan, menggenggam tangan kami dan berseru: “kita melangkah bersama, atau kita tidak melangkah sama sekali.” Tapi rupanya, tangan yang menggenggam itu juga menyiapkan pisau. Ketika rakyat berharap kesetiaan, kau justru menunjukkan watak aslimu: setia hanya pada peluang, bukan pada perjuangan. Bukan musuh yang kami sesalkan,
tapi kawan yang menjelma menjadi lawan demi hasrat kekuasaan. Kini semua tahu: di balik topeng loyalitasmu, tersembunyi wajah haus kuasa yang tak segan menginjak persahabatan.

Sejarah akan mencatat: engkau mungkin menang dalam kontestasi, tapi telah kalah dalam ujian nilai dan moral. Rakyat tidak butuh pemimpin yang pandai berpaling, tapi yang sanggup berdiri tegak, bahkan saat badai datang. Lalu, harapan kami sebagai rakyat untuk polotik hari ini, jangan pilih orang-orang penghianat dan Rakyat tidak menuntut politik yang sempurna, tapi mereka berharap pada politik yang jujur, adil, dan berpihak. kami ingin pemimpin yang hadir bukan hanya saat pemilu, tapi juga saat kesulitan menimpa. Mereka mendambakan politik yang bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan alat untuk memperjuangkan kesejahteraan. Harapan rakyat sederhana: politik yang membumi, pemimpin yang merakyat, dan kebijakan yang benar-benar menyentuh kehidupan sehari-hari.

Rakyat sudah terlalu sering dijanjikan, tapi jarang benar-benar diperjuangkan.
Mereka tidak butuh pemimpin yang pandai berkata, tapi yang mampu bekerja nyata. Mereka tidak butuh politik yang hanya ramah di baliho, tapi kejam dalam keputusan. Rakyat hanya ingin satu hal: politik yang benar-benar memihak mereka, bukan memanfaatkan mereka. Jika politik tak mampu mendengar suara rakyat, maka rakyatlah yang akan mengubah arah politik itu sendiri.

Di pelosok desa dan sudut kota, rakyat menyimpan harapan yang sederhana tapi dalam maknanya. Mereka ingin melihat politik yang tak sekadar bicara, tapi benar-benar merasa. Mereka ingin pemimpin yang datang bukan membawa janji, tapi membawa solusi. Politik, bagi mereka, bukan soal partai atau warna, tapi soal siapa yang benar-benar peduli dan bekerja. Harapan rakyat adalah cahaya kecil yang tak pernah padam, menanti pemimpin yang benar-benar datang.