Pendidikan Berkualitas: Mimpi atau Misi Semata?

Opini

OPINI : Subri Rahmadani / Mahasiswa Sosiologi Universitas Bangka Belitung,

BANGKA, Actadiurma.id – Pendidikan merupakan hak fundamental yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu, tanpa memandang latar belakang ekonomi, jenis kelamin, maupun status sosial. Dalam momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, mari merenungkan kembali sejarah pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, merupakan sosok pelopor yang memperjuangkan hak pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui pendirian Taman Siswa, beliau menunjukkan bahwa pendidikan adalah alat perjuangan menuju kemerdekaan dan kesejahteraan. Warisan perjuangannya menjadi bukti sejarah yang tak boleh dilupakan.

Dalam mencapai kesejahteraan nasional, pendidikan yang berkualitas adalah kunci utama. Hanya melalui sistem pendidikan yang baik, kita dapat melahirkan generasi yang terampil, kritis, dan mampu bersaing di tengah tantangan global. Sayangnya, sistem pendidikan kita belum sepenuhnya adil. Masih banyak kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan yang layak, apalagi berkualitas. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan seringkali tidak berpihak pada rakyat kecil. Standar hidup yang tinggi dan berbagai keterbatasan membuat jutaan orang kesulitan memperoleh akses pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar mereka. Di balik jargon-jargon pembangunan, masih banyak kisruh dan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan yang tidak pernah benar-benar diselesaikan.

Pendidikan semestinya menjadi titik awal bagi lahirnya kesadaran kolektif masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya. Jika pendidikan adalah jalan pembebasan dari ketertindasan struktural, maka ia harus mampu membentuk pemahaman kritis terhadap ketimpangan yang dialami. Namun, pada kenyataannya, negara justru cenderung lebih fokus menciptakan warga yang patuh daripada warga yang berpikir kritis. Hal ini menjadi ironi dan sekaligus kritik terhadap bagaimana pendidikan masih belum dimaknai sepenuhnya sebagai alat pembebasan.

Ganti Pemerintah, Ganti Kurikulum
Setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan nasional, biasanya akan diikuti dengan perubahan kebijakan publik, termasuk dalam bidang pendidikan. Kurikulum sebagai pondasi sistem pendidikan bersifat fleksibel dan harus terus dikembangkan sesuai dengan perubahan zaman yang dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Akan tetapi, pembaruan kurikulum harus dilakukan secara terstruktur dan berbasis kajian ilmiah, bukan semata-mata karena pergantian pemerintahan.

Sejak Indonesia merdeka, sistem kurikulum telah mengalami 11 kali perubahan. Kurikulum 1947 menitikberatkan pada pembentukan karakter dan semangat kebangsaan. Kurikulum-kurikulum berikutnya mengalami penyempurnaan, disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan nasional hingga akhirnya muncul Kurikulum Merdeka yang dirancang untuk menyesuaikan kebutuhan peserta didik serta tuntutan global. Sayangnya, perubahan kurikulum yang terjadi tanpa evaluasi mendalam berisiko menciptakan kesenjangan antara sistem pendidikan dan kebutuhan dunia nyata. Kurikulum yang terlalu padat dan teoretis cenderung membebani siswa, membuat mereka cepat lelah dan kehilangan motivasi belajar. Kesenjangan fasilitas pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan juga memperparah keadaan, terutama karena guru di daerah tertinggal kerap kali belum mendapat pelatihan memadai.

Pergantian kurikulum yang terlalu sering juga menyebabkan kebingungan di tingkat pelaksana, terutama guru dan tenaga kependidikan. Mereka dituntut untuk terus beradaptasi dengan sistem baru dalam waktu singkat tanpa dukungan pelatihan dan fasilitas yang memadai. Akibatnya, tujuan utama kurikulum sering kali tidak tercapai karena pelaksana di lapangan belum siap menjalankannya secara optimal. Selain itu, inkonsistensi arah kurikulum ini juga berdampak pada generasi siswa yang kehilangan kesinambungan dalam proses belajar mereka, sehingga hasil pendidikan menjadi kurang maksimal.

Kesejahteraan Guru di Dunia Pendidikan
Pendidikan merupakan elemen penting dalam kemajuan suatu bangsa, dan guru adalah pelaku utama dalam proses pendidikan tersebut. Namun, realitas menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan guru di Indonesia masih memprihatinkan, khususnya bagi guru honorer dan guru di sekolah swasta. Banyak dari mereka menerima upah yang sangat rendah dan tidak layak. Bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, kondisi ini sangat timpang. Di negara tersebut, guru tidak hanya menerima gaji besar tetapi juga mendapat berbagai insentif serta pelatihan berkelanjutan. Sementara di Indonesia, guru ASN memperoleh gaji pokok sekitar Rp2-5 juta per bulan, sedangkan guru honorer banyak yang hanya menerima di bawah Rp2 juta, bahkan ada yang kurang dari Rp500 ribu.

Regulasi seperti UU No. 14 Tahun 2005 sejatinya menjamin kesejahteraan guru, namun pelaksanaannya di lapangan masih jauh dari ideal. Pendanaan melalui BOS pun terbatas dan bergantung pada syarat administratif seperti kepemilikan NUPTK. Minimnya kesejahteraan guru bukan hanya berdampak pada motivasi kerja, tetapi juga pada kualitas pengajaran. Guru yang harus memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari dengan gaji minim cenderung mencari pekerjaan tambahan, yang pada akhirnya mengurangi fokus mereka dalam mempersiapkan materi dan mendampingi siswa secara optimal. Hal ini menyebabkan proses pembelajaran menjadi kurang efektif, terutama di daerah-daerah yang sangat bergantung pada guru honorer. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut, maka bukan hanya kesejahteraan guru yang terabaikan, tetapi juga masa depan pendidikan generasi muda Indonesia yang dipertaruhkan.

Efisiensi Anggaran di Sektor Pendidikan
Pendidikan merupakan fondasi utama pembangunan sumber daya manusia. Namun, saat ini kebijakan anggaran nasional lebih mengedepankan program seperti makan gratis, sementara pendidikan hanya ditempatkan sebagai sektor pendukung. Hal ini menunjukkan pergeseran fokus kebijakan yang bisa berdampak negatif terhadap kualitas pendidikan.

Konstitusi telah mengamanatkan alokasi minimal 20% dari APBN untuk sektor pendidikan. Namun, dalam praktiknya, anggaran ini terbagi ke berbagai kementerian dan lembaga, sehingga dana yang langsung dikelola oleh Kemendikbud Ristek menjadi terbatas. Ketika efisiensi anggaran diterapkan pada pendidikan, maka kegiatan seperti riset dan pengembangan akan terdampak secara signifikan, yang pada akhirnya dapat menghambat pencapaian SDM unggul.
Efisiensi anggaran di sektor pendidikan juga berdampak pada minimnya fasilitas dan teknologi pendukung pembelajaran, terutama di daerah tertinggal. Banyak sekolah masih kekurangan laboratorium, perpustakaan, bahkan ruang kelas yang layak. Di era digital saat ini, keterbatasan tersebut menjadi penghalang besar bagi siswa dalam mengakses sumber belajar modern. Tanpa investasi yang memadai dalam infrastruktur dan teknologi pendidikan, Indonesia akan kesulitan mengejar ketertinggalan dari negara lain dalam hal kualitas SDM dan daya saing global.

Terlebih lagi Khususnya Provinsi Bangka Belitung mencakup berbagai aspek yang saling berkaitan, mulai dari keterbatasan akses di daerah terpencil, ketimpangan distribusi guru, hingga minimnya sarana dan prasarana. Banyak wilayah, terutama di pulau-pulau kecil, masih mengalami kesulitan dalam menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, sehingga siswa harus menempuh jarak jauh untuk bersekolah. Kualitas tenaga pendidik pun belum merata, dengan konsentrasi guru berkualitas lebih banyak di daerah perkotaan dari pada perdesaan karna enggan nya memilih daerah” yang terpencil. Di sisi lain, angka putus sekolah masih cukup paling tinggi diantara provinsi lainnya, dipicu oleh faktor ekonomi dan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan jangka panjang. Ini menandai hal yang harus segera dipahami terlebih lagi mengenai pendidikan banyak anak lebih memilih untuk bekerja membantu menunjang perekonomian orang tuanya atau bahkan ada yang memilih sedari awal untuk fokus bekerja dari pada sekolah. Pendidikan vokasional yang ada juga belum sepenuhnya relevan dengan potensi daerah seperti pertambangan, perikanan, dan pariwisata. Selain itu, rendahnya literasi digital menjadi tantangan tersendiri dalam menghadapi perkembangan teknologi dan dunia kerja yang semakin maju. Seluruh permasalahan ini menunjukkan bahwa pendidikan di Bangka Belitung masih membutuhkan perhatian serius dan pendekatan holistik agar dapat menciptakan pemerataan dan kualitas yang lebih baik.

Sudah saatnya kita mengakui bahwa wajah pendidikan Indonesia masih jauh dari kata ideal. Di tengah semangat memperingati Hari Pendidikan Nasional, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa akses dan kualitas pendidikan belum merata, kesejahteraan guru diabaikan, dan kebijakan pendidikan sering kali hanya menjadi ajang uji coba politik setiap pergantian kekuasaan. Pendidikan tidak boleh hanya menjadi slogan indah dalam pidato-pidato resmi. Ia harus menjadi gerakan nyata, berpihak pada rakyat, berakar pada keadilan sosial, dan berorientasi pada pembebasan berpikir. Kritik terhadap sistem pendidikan hari ini bukan bentuk pesimisme, melainkan tanggung jawab moral agar kita tidak terus-menerus membiarkan generasi muda tumbuh dalam sistem yang pincang.

Jika pendidikan masih kita biarkan sebagai sekadar misi politik atau proyek jangka pendek, maka impian tentang Indonesia yang berdaya saing dan berkeadilan hanya akan menjadi utopia. Maka, mari kita jadikan kritik sebagai titik tolak perubahan karena pendidikan yang baik adalah hak, bukan hadiah.

Apakah pendidikan berkualitas untuk semua masih sebatas cita-cita semata, atau telah menjadi misi nyata yang secara serius diupayakan?