Adu Kuat Supremasi TNI, Polri, dan Kejaksaan : Pengebirian Sipil

Lokal

OPINI : Atha Said Fajri – Kader HMI Cabang Babel Raya

PANGKALPINANG, Actadiurma.id – Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) tengah menjadi sorotan utama karena dianggap berpotensi mengancam prinsip supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi. RUU ini pertama kali diusulkan pada 17 Desember 2019 kemudian diusulkan kembali masuk Prolegnas Prioritas 2025 setelah muncul Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025.

RUU TNI ini dinilai membuka ruang bagi militer untuk kembali terlibat dalam ranah sipil, termasuk mengizinkan perwira aktif menduduki jabatan sipil yang sebelumnya dilarang. Kebijakan ini bisa menghidupkan kembali dominasi militer dalam kehidupan bernegara dan mengikis prinsip demokrasi yang seharusnya menempatkan kekuasaan militer di bawah kendali sipil. Kekhawatiran terbesar adalah kembalinya konsep Dwi Fungsi ABRI, di mana militer tidak hanya berperan dalam pertahanan negara, tetapi juga masuk ke dalam struktur pemerintahan dan kehidupan masyarakat sipil, sebagaimana yang pernah terjadi di era Orde Baru.

Namun, di tengah perdebatan mengenai Rancangan Undang-Undang(RUU)TNI, perhatian publik banyak tertitik beratkan pada militer, sementara dua revisi undang-undang lainnya yang tak kalah penting, yakni RUU Polri dan RUU Kejaksaan (Kejari), justru berjalan tanpa pengawasan yang cukup. Namun, pembahasan ketiga Rancangan undang-undang institusi ini dilakukan secara tertutup dan tanpa melibatkan pastisipasi publik. Padahal, perubahan dalam ketiga institusi ini akan berdampak luas pada kehidupan demokrasi di Indonesia.

Sejak Reformasi 1998, Indonesia telah berusaha mengurangi pengaruh militer dalam kehidupan sipil dan memperkuat kontrol sipil atas negara. Upaya ini bertujuan untuk mengembalikan tatanan demokrasi yang lebih sehat, di mana lembaga-lembaga negara harus saling mengawasi dan tidak ada satu kekuasaan pun yang mendominasi. kita sedang di hadapkan dengan risiko di masa di mana kekuasaan lebih terkonsentrasi pada aparat negara daripada berada di bawah kontrol sipil.

Lebih jauh lagi, revisi ini juga perlu dilihat dalam konteks modernisasi institusi negara. Polri, yang diharapkan menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bisa terjebak dalam dinamika kekuasaan yang semakin terpusat pada institusi tersebut, yang mengurangi efektivitas pengawasan terhadap tindakan aparat. Begitu juga dengan Kejaksaan, yang memiliki peran penting dalam penuntutan kasus hukum. Jika lembaga ini diberi kewenangan yang lebih besar tanpa pengawasan yang memadai, maka akan semakin sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan.

Maka seharusnya civil society untuk terus mengawasi dan mendorong transparansi dalam setiap proses legislasi yang melibatkan institusi negara, termasuk RUU TNI, Polri, dan Kejaksaan. Partisipasi publik dalam pembahasan dan pengawasan terhadap kebijakan ini sangat penting, agar tidak ada ruang bagi praktik yang memperkuat dominasi kekuasaan aparat negara. Masyarakat perlu mengedukasi diri tentang implikasi undang-undang ini dan menjadikan lembaga-lembaga negara benar-benar berfungsi untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memperbesar kekuasaan institusi tertentu.