Herzl dan An-Nabhani

Opini

Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jabar

Saya tertarik membandingkan antara Theodore Herzl dengan Taqiyuddin an-Nabhani karena keduanya mempunyai cita-cita besar ingin mendirikan negara superpower berdasarkan ideologi tertentu.

Herzl seorang Yahudi berlatar belakang sebagai jurnalis, sedangkan an-Nabhani seorang ulama al-Azhari yang pernah menjadi hakim syariah sebelum terjun ke dunia politik.

Herzl ingin membangun negara Israel Raya yang membentang dari sungai Nil di Mesir sampai sungai Eufrat di Irak termasuk di dalamnya kota Madinah Arab Saudi, Yordania, Lebanon dan Suriah dengan ibukota di Yerusalem Palestina.

Sedangkan an-Nabhani ingin mendirikan negara Khilafah yang luasnya paling tidak sama seperti wilayah Khilafah di masa lalu yang membentang dari Maroko sampai Merauke. Dari pulau Rote pulau paling selatan Indonesia sampai pulau Sisilia di Italia Selatan. Dari Hadramaut sampai gerbang Kota Wina Swiss.

Kedua tokoh ini mengkonstruksi suatu ideologi yang menjadi dasar pijakan sekaligus pembenaran atas cita-cita mereka. Herzl menciptakan ideologi Zionisme yang diklaim berdasarkan doktrin-doktrin ajaran Yahudi. Adapun an-Nabhani menciptakan ideologi Tahririyah yang diklaim sebagai ajaran Islam.

Demi terwujudnya negara idaman mereka, Herzl dan an-Nahbani membentuk organisasi politik berskala internasional. Herzl membentuk gerakan Zionisme. An-Nabhani membentuk Hizbut Tahrir.

Keinginan Herzl agar bangsa Yahudi memiliki negara sendiri ditulisnya pada sebuah pamflet yang berjudul Der Judenstaat tahun 1896. Setahun kemudian diselenggarakan Kongres Zionis Pertama di Basel Swiss.

Herzl meninggal dunia pada tahun 1904. Namun demikian gerakan Zionisme terus berlanjut sampai berhasil mendirikan negara Israel pada tahun 1948 di bumi Palestina. Negara Israel berdiri 52 tahun pasca Herzl menulis pamflet Der Judenstaat.

Pendirian negara Israel ditolak oleh bangsa Arab. An-Nabhani menulis risalah yang berjudul Inqadz Falisthin yang mengungkapkan keprihatinannya tentang Palestina dan solusi yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam khususnya bangsa Arab terkait keberadaan Israel yakni dengan Khilafah.

Ide pendirian negara Khilafah muncul pada tahun 1949. Sejak itu an-Nabhani mulai membangun gerakan politik yang bernama Hizbut Tahrir (HT). Pada tahun 1953 an-Nabhani mendaftarkan HT meminta legalitas kepada pemerintah Yordania, akan tetapi ditolak. An-Nabhani bersih keras tetap mau bergerak membangun HT yang pada akhir hayatnya menyebar ke seluruh negara Arab.

Kini HT sudah tersebar sampai ke luar Arab. Jaringan HT ada di Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia, Eropa, Amerika, Kanada, Afrika Utara dan Afrika Tengah. Sayangnya negara Khilafah yang dicita-citakan belum berdiri. Padahal sudah 76 tahun pasca Risalah Inqadz Falisthin ditulis.

Mengapa Zionisme sukses, sedangkan HT tidak? Menurut saya, karena Zionisme fokus di satu lokasi. Zionisme fokus ingin mendirikan negara Israel Raya di Arab dengan titik sentral di Palestina. Sehingga perhatian, kekuatan, dana, energi, strategi, taktik dan politik mereka fokus di satu lokasi sampai negara Israel berdiri.

Sedangkan HT tidak fokus. HT ingin mendirikan Khilafah di wilayah mana saja di antara negeri-negeri Islam yang mana mereka berhasil mengambil alih kekuasaan. Negeri-negeri Islam terlalu banyak membuat perhatian, kekuatan, dana, energi, strategi, taktik dan politik HT terbagi-bagi menjadi kecil-kecil dan lemah.

Karena itu saya mengusulkan kepada HT, sebaiknya fokus di satu lokasi saja. Tapi jangan sembarang lokasi. Pilih lokasi yang ada dalilnya. Lokasi yang ada hadisnya, yaitu Arab Saudi.

Mengapa Arab Saudi? Karena berdasarkan hadis-hadis tentang pembai’atan Imam Mahdi. Bahwa sebelum Imam Mahdi dibai’at terjadi tragedi politik berupa pembunuhan anak khalifah.

Hal ini mengindikasikan ada negara Khilafah di sana. Negara Khilafah itu berlokasi di Arab Saudi sekarang, sebab Imam Mahdi dibai’at di depan pintu Ka’bah di Mekkah, bukan di depan pintu Monas Jakarta Indonesia.