Dipaksa Sehat di Kampus yang Sakit.

Opini

OPINI : Abim Sudarma, mahasiswa IAIN SAS Babel

PANGKALPINANG, Actadiurma.id – KKN pertama kali diadakan pada tahun 1971/1972 oleh 3 perguruan tinggi yakni universitas Gadjah mada, universitas Hasanuddin, dan universitas Andalas. Sebagai pengabdian kepada masyarakat yang ada di daerah-daerah tertentu.

Kuliah kerja nyata (KKN) adalah suatu bentuk pendidikan dari pengimplementasian tridharma perguruan tinggi dengan cara belajar dan bekerja bersama masyarakat dalam konteks pemberdayaan masyarakat. Program KKN menjadi agenda wajib bagi setiap mahasiswa program studi S-1 yang berada di semester 6/7 sesuai dengan regulasi masing-masing perguruan tinggi, yang diharapkan menjadi program efesien dan efektif dalam melakukan pemberdayaan masyarakat.

Pada dasarnya negara mendukung penuh dalam konteks pendidikan tinggi dan berintegritas serta berkomitmen penuh untuk meningkatkan mobilitas SDM masyarakat Indonesia ditambah lagi dengan penguatan amanat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa “untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan
bangsa”.

Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tujuan negara dalam mencapai tatanan masyarakat yang mampu melahirkan generasi mumpuni teruntuk masa depan bangsa yang bermartabat dan cemerlang, sehingga negara harus memenuhi kewajiban tersebut melalui pendidikan berkelanjutan. Tentunya hal ini harus diperhatikan, mulai dari sarana prasarana, pendidikan yang mudah diakses di segala golongan masyarakat.

Belakangan ini mahasiswa semester 4 – 6 dihadapi dengan kewajiban untuk melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di dua kabupaten Bangka Belitung, diantaranya kabupaten Bangka Barat dan Belitung Timur, kemudian KKN Nusantara di bandung dan juga KKN internasional di Malaysia. Terkhususnya wilayah kabupaten Belitung Timur yang akan dilaksanakan pada tanggal 26 Juni sampai 10 Agustus 2024 yang diikuti sebanyak 28 kelompok kurang lebih 784 mahasiswa.
Namun pelaksanaan KKN justru menimbulkan masalah baru terkait dengan administrasi keberangkatan mahasiswa yang dinilai seolah olah pihak kampus lepas tangan terhadap pembiayaan KKN mahasiswa, yang dimana mahasiswa harus membiayai sendiri tiket keberangkatan KKN, tiket kepulangan setelah KKN dan juga biaya untuk menunjang keperluan kegiatan KKN selama 45 hari. Jika jabarkan jumlah anggaran yang harus disiapkan mahasiswa terkhususnya KKN wilayah kabupaten Belitung Timur. Tiket keberangkatan (Rp262.000) dan pulang (Rp262.000) menggunakan kapal bahari express, tiket sewa bus untuk mencapai lokasi KKN Rp1.600,000 rata-rata kelompok KKN di isi oleh 28 orang jika di kalkulasikan kedua pembiayaan keberangkatan dan kepulangan tersebut mahasiswa harus menyiapkan biaya sebesar Rp598.000 setiap individu dan Rp16.744,000 per 1 kelompok, belum lagi biaya keperluan kegiatan KKN terutama kebutuhan pokok mahasiswa selama menjalankan KKN selama 45 hari.

Hal ini dinilai memberatkan mahasiswa yang terkendala biaya untuk mengikuti KKN, lantas apakah kampus IAIN SAS Bangka Belitung memberikan solusi?.
Alih-alih menjelaskan secara rinci, transparan dan akuntabel anggaran dana Dipa yang tertera disebut sebagai dasar hukum pedoman KKN reguler 2024, pihak kampus seolah olah enggan membuka data anggaran dana Dipa IAIN sas Bangka Belitung, sehingga anggaran dana Dipa belum jelas keberadaannya.

Bila merujuk pada Renstra IAIN SAS BANGKA BELITUNG 2019-2023 bagian huruf H tentang standar pembiayaan dijelaskan bahwa:
1) Institusi wajib menganggarkan program dan kegiatan yang berhubungan langsung maupun kegiatan penunjang tridharma perguruan tinggi;
2) Institusi wajib memfasilitasi kerjasama dengan pihak lain dalam pelaksanaan program dan kegiatan yang berhubungan langsung maupun kegiatan penunjang tridharma perguruan tinggi.
3)Pendanaan disediakan untuk membiayai kegiatan meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi, diseminasi, dan pelaporan.

Melihat data fakta diatas lahirlah kebijakan kebijakan yang membuat kalangan mahasiswa terbelenggu, yang seharusnya melahirkan kebijaksanaan humanis dalam mengambil keputusan penyelenggaraan KKN. Jhon Locke seorang filsuf modern mengatakan bahwa pendidikan haruslah bersifat fleksibel dan adaptif namun berbanding terbalik pendidikan fleksibel dan adaptif hanyalah menjadi kontradiktif tanpa konstruktif yang jelas dan bisa dikatakan pihak birokrasi kampus cacat secara metodologis dan gagal secara penanaman nilai moral.

Ketidakmampuan pihak birokrasi dalam mencari solusi menunjukkan kegagalan seakan-akan menormalisasi hal semacam ini terjadi kemudian akan menjadi permasalahan yang sama diangkatan selanjutnya maka jangan heran pula bila melihat mahasiswa seperti ogah-ogahan untuk mengikuti KKN, didasari keengganan pihak kampus mencari alternatif lain dalam memfasilitasi mahasiswa nya. Orientasi yang kontradiksi, tanpa melahirkan relevansi mengakibatkan terjadinya bias berskala besar di lingkup mahasiswa.

Sudah seharusnya pihak birokrasi kampus melakukan evaluasi terhadap visi yang berbunyi “menjadi perguruan tinggi Islam yang unggul, religius dan profesional” sehingga dinilai tidak terlalu jauh dari visi yang diharapkan teroptimalisasi dengan menyeluruh.