JAKARTA, Actadiurma.id – Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) menduga tutupnya pabrik ban milik PT Hung-A Indonesia di Cikarang, Jawa Barat disebabkan oleh persoalan importasi yang sulit hingga menipisnya bahan baku.
Ketua Umum APBI Aziz Pane mengatakan, importasi ban perlu dipermudah untuk memenuhi kebutuhan segmen produk yang belum diproduksi lokal. Menurutnya, regulator lamban dalam merilis persetujuan impor (PI) sehingga pemenuhan permintaan pasar tersendat. “Tidak hanya Hung-A yang kesulitan, banyak pabrik ban lainnya yang sama kondisinya. Ini karena lemahnya respons pemerintah, kami selalu minta kasihlah impor, kita kan ada ban yang belum bisa diproduksi di sini,” kata Aziz kepada media, Kamis (18/1/2024).
Aziz mengungkit regulasi Peraturan Pemerintah (PP) 28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian. Sejak aturan tersebut berlangsung, impor ban menjadi sulit, meskipun telah terbit revisi barunya, yakni PP No. 46/2023.
Di sisi lain, dia mengaku tak memahami alasan pemerintah menunda izin impor ban selama ini. Regulasi ini yang disebut dapat memicu investor kocar-kacir mempertimbangkan relokasi pabrik ke negara lain. “Sekali lagi, pasar domestik itu menjanjikan, tetapi jika barang tidak ada, mereka [pemerintah] persulit kami impor, bagaimana? Regulasi itu jelas boleh kami impor 10% ban dari kapasitas produksi tapi realitanya susah, tidak ada izin itu,” ujarnya.
Selain itu, dia juga membenarkan adanya kesulitan produsen ban untuk memenuhi bahan baku lantaran industri olahan karet alam yang terpuruk. Hal ini lantaran para petani yang melakukan konversi lahan dari pertanian karet menjadi kelapa sawit.
Bukan tanpa alasan, harga karet yang terus turun membuat petani lebih memilih komoditas yang menguntungkan. Sayangnya, kondisi ini memicu pasokan bahan karet olahan rakyat (bokar) semakin menipis. “Bahan baku kita juga semakin kosong, betul, bokar itu sudah sulit. Pengusaha ban di Medan itu berkali-kali meminta tolong ke saya karena sulit dapat bahan baku, kalau ada pun itu mahal ongkosnya,” tuturnya.