SANA’A, Actadiurma.id – Nama militan Houthi mendadak tenar setelah mengumumkan aksinya secara terbuka dengan menyerang kapal-kapal komersial diperairan Laut Merah. Aksi ini merupakan bentuk dukungan terhadap perlawanan Hamas yang tengah diserang habis-habisan oleh Israel dan kegagalan dunia internasional menghentikan aksi Israel memporak-porandakan Palestina.
Hampir satu bulan sejak Israel melancarkan agresi militer terhadap kelompok Hamas di Palestina, militan Houthi merespon dengan menyerang kapal-kapal kargo yang melintasi Laut Merah. Aksi ini mengundang pasukan gabungan pimpinan Amerika Serikat dan Inggris untuk melakukan serangan udara dan laut ke kantong-kantong kekuasaan Houthi di Yaman.
Mulanya Houthi hanya mengincar kapal-kapal kargo yang berkaitan dengan Israel, namun belakangan sejumlah kapal yang sama sekali tidak berhubungan dengan Israel turut mendapatkan serangan dari Angkatan Laut Houthi. Tindakan ini direspon Amerika Serikat dan 20 negara koalisinya untuk menempatkan armada perang dikawasan tersebut untuk melindungi jalur pelayaran internasional tersebut.
Kehadiran pasukan dari berbagai negara tidak menyurutkan nyali Houthi untuk terus menebar teror bagi kapal-kapal yang melintas kawasan tersebut, bahkan beberapa serangan langsung ditujukan ke kapal-kapal perang yang tengah mengamankan jalur tersebut.
Siapakah kelompok Houthi?
Houthi, juga dikenal sebagai Ansar Allah (pendukung Tuhan), adalah kelompok bersenjata yang menguasai sebagian besar wilayah Yaman, termasuk ibu kota, Sanaa, dan beberapa wilayah barat dan utara yang dekat dengan Arab Saudi. Kelompok Houthi muncul pada tahun 1990-an namun menjadi terkenal pada tahun 2014, ketika kelompok tersebut memberontak melawan pemerintah Yaman, menyebabkan pemerintah mundur dan memicu krisis kemanusiaan yang melumpuhkan negara tersebut.
Kelompok ini kemudian menghabiskan waktu bertahun-tahun, dengan dukungan Iran, melawan koalisi militer yang dipimpin oleh Arab Saudi. Kedua pihak yang bertikai juga berulang kali berupaya mengadakan perundingan damai. Namun, para analis mengatakan kelompok Syiah tidak boleh dilihat sebagai wakil Iran. Negara ini mempunyai basisnya sendiri, kepentingannya sendiri – dan ambisinya sendiri.
Bagaimana status perang saudara di Yaman?
Yaman telah dilanda perang saudara selama satu dekade ketika kelompok Houthi mempertahankan kendali atas beberapa bagian negara tersebut. Kelompok ini telah melakukan pembicaraan gencatan senjata dengan Arab Saudi sementara pemerintah resmi Yaman bermarkas di Aden dan dipimpin oleh Presiden Rashad al-Alimi.
Al-Alimi mulai menjabat pada tahun 2022 setelah presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi yang diasingkan menyerahkan kekuasaan kepadanya. Hubungan antara Abd-Rabbu Mansour Hadi dengan Houthi sangat buruk.
Dibawah kepemimpinan presiden Rashad al-Alimi, Yaman mulai menampakkan cahaya perdamaian, meski diawal tahun 2023 PBB merilis pernyataan bahwa dua pertiga atau sekitar 21,6 juta penduduk Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan dan layanan perlindungan.
Pertempuran antara Houthi dan koalisi militer sebagian besar mereda tahun lalu. Pada tahun 2023, pemberontak Yaman dan pasukan pemerintah juga sempat menukar sekitar 800 tahanan selama tiga hari.
Kelompok Houthi bahkan telah terlibat dalam pembicaraan damai yang dimediasi Oman dengan para pejabat Arab Saudi untuk merundingkan gencatan senjata permanen. Arab Saudi juga memulihkan hubungan dengan Iran pada tahun 2023, meningkatkan harapan bagi proses perdamaian Yaman.
Mengapa Houthi menyerang kapal-kapal Laut Merah?
Kelompok Houthi mengatakan serangan mereka terhadap kapal komersial dan militer yang berpotensi memiliki hubungan dengan Israel terutama ditujukan untuk menekan Tel Aviv agar mengakhiri perangnya di Gaza. Pada tanggal 18 November, kelompok tersebut mengambil alih sebuah kapal kargo bernama Galaxy Leader, yang kemudian mereka ubah menjadi objek wisata bagi warga Yaman.
“Kami telah menekankan kepada semua orang bahwa operasi [Houthi] adalah untuk mendukung rakyat Palestina di Jalur Gaza, dan bahwa kami tidak bisa berpangku tangan dalam menghadapi agresi dan pengepungan,” kata kepala perunding dan juru bicara Houthi, Mohammed Abdulsalam seperti dilansir Al Jazeera. di bulan Desember.
Houthi juga mengatakan mereka akan terus menyerang kapal-kapal yang terkait dengan Israel bahkan setelah serangan AS dan Inggris di Yaman pada hari Kamis.
“Mereka salah jika mengira akan menghalangi Yaman untuk mendukung Palestina dan Gaza,” tulis Abdulsalam secara online.
“Penargetan kelompok ini akan terus mempengaruhi kapal-kapal Israel atau mereka yang menuju pelabuhan Palestina yang diduduki,” tulisnya.
Kelompok ini juga menuntut agar Israel mengizinkan peningkatan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Namun para analis juga mengatakan bahwa serangan membantu Houthi dengan cara lain.
Di dalam negeri di Yaman, kelompok ini mengalami peningkatan tajam dalam perekrutan, berkat dukungan masyarakat terhadap masyarakat Gaza. Serangan-serangan tersebut, dan tanggapan dari negara-negara besar seperti AS, juga memaksa negara-negara dan pemerintah-pemerintah lain untuk bernegosiasi dengan mereka, sehingga memberi mereka legitimasi de facto pada saat mereka tidak secara resmi diakui secara internasional sebagai pemerintah Yaman.
Gangguan keamanan pelayaran ini sangat berpengaruh bagi distribusi barang dan perdagangan internasional, mengingat Laut Merah dan Terusan Suez menyumbang 30 persen lalu lintas kapal kontainer dunia dan sejak terjadinya serangan, beberapa perusahaan pelayaran mengatakan mereka akan mengalihkan kapal melintasi Afrika.
Akankah eskalasi terbaru ini berdampak pada perdamaian Yaman yang rapuh?
Para analis mengatakan bahwa serangan Houthi terhadap kapal-kapal Laut Merah dapat mengancam perdamaian di Yaman, terutama karena perundingan gencatan senjata setelah perang selama satu dekade tampaknya mulai mendapatkan momentum.
PBB mengumumkan pada akhir Desember bahwa kemajuan serius telah dicapai dalam negosiasi, namun para ahli memperingatkan bahwa aktivitas Houthi di Laut Merah dapat menggagalkan kesepakatan akhir. Mereka menjelaskan bahwa serangan dapat memicu respons militer AS yang pada gilirannya dapat
“mengurai kondisi gencatan senjata yang rapuh”. Beberapa analis juga khawatir bahwa Houthi mungkin tergoda untuk menggunakan jumlah mereka yang besar karena meningkatnya perekrutan untuk memperluas ambisi mereka. Dalam beberapa pekan terakhir, kelompok Houthi telah mengerahkan 50.000 tentara di sekitar Marib, benteng terakhir pemerintah Yaman yang diakui secara internasional.
Namun analis lain berpendapat bahwa Houthi mungkin juga ingin menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Arab Saudi, sebuah faktor yang dapat menghambat mereka melakukan tindakan apa pun yang meningkatkan ketegangan di Yaman.